Sejarah Indramayu
Kabupaten Indramayu termasuk
wilayah Propinsi Jawa
Barat, dengan wilayah darat seluas 20.006,4 km² merupakan
wilayah yang cukup luas. Sumberdaya alamnya dari laut, sawah, dan hutan. Secara
historis, selama ini Indramayu menyatakan diri memiliki akar sejarah dari Jawa
Tengah (Bagelen) melalui tokoh Arya Wiralodra. Dalam beberapa sumber, ada yang
menyebut tokoh ini utusan Demak (abad ke-16), ada pula yang menyebut berasal
dari Mataram (abad ke-17). Akar sejarah itulah yang menjadikan Indramayu
bukanlah wilayah Sunda, meskipun berada di Jawa Barat yang mayoritas dihuni
suku Sunda dan berbahasa Sunda. Meski demikian, perkembangan selanjutnya
menunjukkan Indramayu juga tidak serupa dengan realitas sosio-kultur Jawa
Tengah. Ada semacam sosio-kultur tersendiri yang “bukan Jawa” dan “bukan pula
Sunda”. Bagi orang Indramayu, menyebut orang Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah
“wong wetan”, sedangkan orang Pasundan adalah “wong gunung”. Sosio-kultur
Indramayu itu menunjukkan karakter yang sebangun dengan Cirebon.
Secara
akar sejarah pula, beberapa daerah di Indramayu berkaitan dan banyak
dipengaruhi kerajaan lain di sekitarnya, seperti Cirebon dan Sumedanglarang.
Jika yang disebut wilayah kekuasaan Wiralodra sebagai Kabupaten Indramayu
seperti sekarang, tampaknya harus ditelisik lebih dalam. Ketika dinasti
Wiralodra berkuasa hingga pertengahan abad ke-19, peristiwa politik dan
keagamaan di Pulau Jawa sangat dinamis. Dimulai dari runtuhnya Majapahit
sebagai simbol kebesaran agama Hindu pada tahun 1527, dinamika itu tampak
dengan kemunculan kerajaan Islam Demak, yang mampu berpengaruh pada Cirebon dan
Banten, serta dikuasainya Sundakelapa dari Pajajaran. Simbol kebesaran Hindu
lainnya dalam diri Pajajaran pun runtuh juga. Gegap gempita politik dan kekuasaan
seperti itu sedikit banyak, tentu saja, memiliki pengaruh yang kuat pada
Cimanuk (Indramayu) sebagai wilayah kecil yang berada pada pusaran dinamika
itu. Berakhirnya era Hindu dan bangkitnya Islam juga menyentuh kehidupan
sosio-religi di wilayah tersebut. Ketika Mataram menguasai Jawa Barat selama 57
tahun (1620-1677), pengaruh kekuasaan itu sangat jelas pada daerah-daerah yang
sekarang bernama Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Cirebon, dan beberapa
lainnya sebagai wilayah imperium Mataram.
Ketika Wiralodra
dianggap sebagai pendiri Indramayu dan 7 Oktober 1527 sebagai hari kelahiran
Indramayu, legitimasi itu dilakukan pada era kekinian, yakni berdasarkan Perda
No. 02/1977 tanggal 24 Juni 1977. Nama Indramayu sebagai wilayah kabupaten,
sebenarnya berasal dari nama wilayah kecamatan yang berada di kota (Sindang –
Kota Indramayu), titik sentral kekuasaan dinasti Wiralodra. Menurut Babad
Dermayu yang ditulis tahun 1900, beberapa keturunan Wiralodra menjabat beberapa
jabatan penting di beberapa wilayah sebagai demang maupun rangga, misalnya
Raden Marngali Wirakusuma (Demang Bebersindang, mungkin maksudnya Sindang),
Nyayu Wiradibrata (rangga), Nyayu Malayakusuma (Demang Plumbon), Nyayu
Hekakusuma (Demang Anjatan), Nyayu Suradisastra (ulu-ulu), Nyayu Hanjani
(mantri tanah), Raden Kalid Wiradaksana (Demang Lohbener), Raden Prawiradirja
(Demang Losari), Raden Wirasentika (Demang Lohbener), Nyayu Sastrakusuma
(Jututulis Demang Brengenyeber), Nyayu Patimah (Demang Lelea), Raden
Wirasaputra (demang).
Klaim
bahwa nama wilayah sekabupaten dengan nama Indramayu, sebenarnya dilakukan
pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19, seperti dalam Regerings Almanak voor
Nederlands Indie 1869 untuk menetapkan seorang bupati dengan wilayah kabupaten.
Pendapat ini sejalan dengan Dasuki (1977).
Kalau yang
dimaksud dengan daerah Dermayu dalam babad itu adalah suatu tempat yang
sekarang merupakan lokasi desa Dermayu, mungkin ada benarnya. Akan tetapi kalau
yang dimaksud dengan daerah Indramayu ialah daerah yang sekarang merupakan
daerah jurisdiksi Indramayu, sudah pasti tidak benar, sebab bertentangan dengan
pemberitaan dari beberapa sumber lain yang menyatakan bahwa sebelum Wiralodra
datang ke daerah Indramayu, di beberapa bagian daerah ini sudah ada masyarakat
yang berbudaya.
Yang
terjadi pada era dinasti Wiralodra, Indramayu cenderung identik pada wilayah
yang sekarang disebut sekitar Sindang, Kota Indramayu, hingga Lohbener. Pada
kurun waktu sebelumnya atau bersamaan, wilayah lain memiliki nama yang berbeda,
dengan tokoh pendiri (Ki Gede) yang berbeda pula. Beberapa hal bisa menjadi
argumentasi bahwa Kabupaten Indramayu bukanlah “Dermayu”-nya Wiralodra, dulu.
Naskah Wangsakerta menguraikan tentang mazhab-mazhab dalam Islam yang
berkembang di Pulau Jawa, termasuk wilayah Cirebon dan Indramayu seperti
dituliskan dalam Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, parwa 2 sargah 4.
Beberapa Ki Gedeng (Ki Gede) dari Indramayu ada yang dikategorikan menganut
mazhab Syafi’i, tetapi ada pula yang Syi’ah yang diajarkan Syeh Lemahabang.
Penganut mazhab Syafi’i adalah Ki Gedeng Krangkeng, Ki Gedeng Dermayu, Ki Buyut
Karangamapel, Pangeran Losarang, Ki Gedeng Srengseng, dan Ki Gedeng
Pekandangan, sedangkan mazhab Syi’ah dianut oleh Ki Gedeng Junti. Data seperti
itu bukan hanya menyiratkan tentang perkembangan mazhab dalam Islam yang dianut
para tokoh masyarakat (Ki Gedeng, Ki Buyut) di Indramayu, akan tetapi lebih
dari itu menyiratkan adanya deskripsi kesejajaran tokoh-tokoh tersebut.
Penyebutan nama-nama Ki Gedeng atau Ki Buyut di enam daerah tersebut tampak memiliki
derajat yang sama. Antara Krangkeng, Dermayu, Karang Ampel, Srengseng,
Pekandangan, dan Junti tidak ada hirarkis. Hal itu bisa diinterprestasikan di
wilayah-wilayah tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng atau Ki Buyut secara otonom
dan tidak menginduk pada Ki Gedeng atau Ki Buyut di sekitarnya. Ki Gedeng
Dermayu tidak membawahi Ki Gedeng Krangkeng, Karang Ampel, Srengseng,
Pekandangan, dan Junti, tetapi berdiri sejajar. Acuan kurun waktunya adalah
masa hidup Sunan Gunungjati dan Syeh Lemahabang (abad ke-16).
Sebelumnya
kesejajaran itu tampak pada cerita Ciungwanara pada zaman Pajajaran yang
menyebut-nyebut nama Indramayu, Junti, Anjatan, dan Kandanghaur, seperti dalam
Waosan Babad Galuh (Serengrana, 1280 H). Naskah lain pada zaman Pajajaran
menyiratkan adanya tokoh lain dan wilayah lain di Indramayu yang sudah disebut
keberadaannya sejak abad ke-15, seperti dalam buku Sunan Rahmat Suci Godog
(Deddy Effendy-Warjita, 2006). Disebut-sebut nama Raden Khalipah Kandangaur
yang bersahabat dengan Kean Santang (putra Prabu Sri Baduga Maharaja dengan
Subang Larang). Kean Santang adalah adik Pangeran Walangsungsang (Cakrabuana)
dan Nyi Mas Rarasantang (ibunda Sunan Gunungjati). Pengaruh Sunan Gunungjati,
baik secara religi dan sosio-politik, amat kuat pada hampir seluruh tokoh (Ki
Gede) dari desa-desa kuno di Indramayu. Sekitar 70 Ki Gede, dari Sukra hingga
Kertasemaya, dari Bantarwaru hingga Sindangkerta, dimakamkan di sekitar makam
Sunan Gunungjati di Nur Giri Ciptarengga, Gunung Sembung, Cirebon (Bambang
Irianto, makalah 2007). Adanya makam Habib Keling di Desa Tanjakan Kecamatan
Krangkeng Kabupaten Indramayu menjadi catatan tersendiri, apakah Habib Keling
identik dengan Dipati Keling. Jika ya, menegaskan lagi adanya relasi itu, sebab
Dipati Keling merupakan sahabat Sunan Gunungjati yang ikut serta dalam
penyerangan ke Batavia tahun 1526. Ia salah seorang komandan, di samping
beberapa komandan lainnya seperti Dipati Cerbon, Dipati Cangkuang, dan
Faletehan. Sebelumnya Dipati Keling bersama 98 pengikutnya menyatakan masuk Islam
dan bergabung bersama Sunan Gunungjati. Diperkirakan, Dipati Keling berasal
dari India, karena kulitnya hitam seperti orang Keling (Sunardjo 1983: 53,81).
Sangat mungkin, yang dimaksud makam tersebut adalah petilasan, sebab makam
Dipati Keling terdapat di Astana Gunungjati Cirebon berdekatan dengan Sunan
Gunung Jati. Jejak lain di Indramayu yakni adanya makam Pangeran Suryanegara
yang terdapat di Desa Bulak Kecamatan Jatibarang dan memiliki keturunan di
Indramayu (Raffan S. Hasyim, makalah 2007). Suryanegara adalah adik bungsu
Dipati Cerbon I atau Pangeran Swarga (putra Pangeran Pasarean dengan Ratu Mas
Nyawa).
Latar
tersebut merupakan dinamika penyebaran Islam yang dilakukan Sunan Gunungjati
dan para pengikutnya, baik ke pegunungan maupun ke pesisir. Naskah Purwaka
Caruban Nagari menyebutkan wilayah pesisir tersebut hingga ke pedalaman
Karawang dan Dermayu. Saat Sunan Gunungjati bertahta, jangkauan Cirebon dalam
penyebaran Islam mencapai 2/3 daerah di Jawa Barat.
Jejak-jejak
Cirebon secara sosio-kultural di beberapa desa yang ada di tiga kecamatan
(Krangkeng, Karangampel, Juntinyuat) hingga kini masih terasa. Yang paling
kentara adalah dalam penggunaan kosakata "isun" (saya) masih tetap
dipergunakan (terutama di beberapa desa di Kecamatan Krangkeng, perbatasan
Kabupaten Cirebon-Indramayu) dibandingkan penggunaan "reang" atau
"kita" sebagaimana digunakan secara umum di wilayah kecamatan
lainnya. Begitu pula penggunaan kata tunjuk untuk menunjukkan yang jauh, agak
dekat, dan dekat, masih tetap menggunakan lah, lih, dan luh. Bukan kah, kih,
dan kuh. Pamakaian kosakata seperti itu serupa yang dipakai di Cirebon.
Dalam buku
”Mengenal Kasultanan Kasepuhan Cirebon” (2004) malah ditegaskan, pada abad
ke-14 batas pemukiman baru di Lemahwungkuk (cikal bakal Caruban/Cirebon) yang
dipimpin Ki Gede Alang-alang yang diangkat Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi
adalah Kali Cipamali (sebelah timur), Cigugur Kuningan (sebelah selatan),
pegunungan Kromong (sebelah barat), dan Junti (sebelah utara).
Jejak
Indramayu secara geografis memang hanya diketemukan pada naskah-naskah dengan
derajat sebagai sumber sekunder, seperti sumber-sumber di atas, kecuali
Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869. Hal ini bisa jadi merupakan
sebuah fenomena kelangkaan sumber primer, karena “terjepit”-nya masa-masa
dinamis itu. Penulis sejarah Jawa Hindu yang telah silam umumnya sudah berhenti
menulis, jauh sebelum sampai pada tokoh Senopati; sedangkan ahli sejarah
Kompeni hampir tidak menyadari bahwa para pahlawan negerinya telah mengganggu
perkembangan suatu kerajaan Jawa yang perkasa.
Meski
dalam historiografi tradisional menyebutkan nama Dermayu mulai digunakan sejak
abad ke-16 atau ke-17, siapa sangka jika sebagian wilayahnya (sebelah timur
sungai Cimanuk) pada jaman pemerintahan Belanda abad ke-19, nama yang muncul
adalah Bengawan Wettan, salah satu dari lima keregenan (regentschappen) di
bawah Keresidenan Cheribon, selain Kereganan Cheribon, Madja, Galo, dan
Koeningan (besluit van commissarissen-general over Nederlandsch-Indie, tanggal 5
Januari 1819). Keregenan Bengawan Wettan meliputi sungai Singapura, dari muara
sungai di laut ke arah atas sampai jalan pos di Desa Jamblang, jalan ini ke
barat sampai sungai Cimanuk di penyebrangan di Karangsambung, selanjutnya
sungai Cimanuk ini sampai muaranya ke laut. Peristiwa “Pemberontakan Bagus
Rangin” di sekitar Bantarjati-Jatitujuh pada awal abad ke-19 agaknya
menyiratkan wilayah tersebut sebagai bagian Kabupaten Indramayu (Bengawan
Wettan).
Jika
dilihat pada era kekinian, sebenarnya wilayah Indramayu sekarang selain
bertambah, sebenarnya juga berkurang. Di bagian tenggara Kabupaten Indramayu,
sekitar perbatasan Kecamatan Bangodua, beberapa desa bukan lagi milik
Indramayu. Dulu, konon Kecamatan Jatitujuh dan sekitarnya pernah masuk dalam
wilayah Kabupaten Indramayu. Kini di wilayah perbatasan kultural Sunda-Jawa itu
sudah masuk Kabupaten Majalengka. Tidak heran jika hubungan emosional desa-desa
di sekitar itu tetap ada. Ragam budaya, seperti jenis kesenian dan
adat-istiadat pun menampakkan kecenderungan yang seragam. Tarling, topeng, wayang
kulit –yang merupakan jenis
kesenian Jawa-pesisir Cirebon-Indramayu, biasa dinikmati masyarakat Jatitujuh,
yang juga menikmati kesenian Sunda.
Dasuki
(1977) menjelaskan setelah tahun 1910 daerah Indramayu sebelah barat sungai
Cimanuk dibagi dalam enam kedemangan, yaitu Kedemangan Kandanghaur, Losarang,
Pamayahan, Pasekan, Bangodua, Jatitujuh, dan Lelea. Adapun daerah Indramayu
sebelah timur Cimanuk dibagi dalam tiga kawedanan yaitu Kawedanan Indramayu,
Karangampel, dan Sleman (Jatibarang).
Di wilayah
selatan, barat daya hingga barat Kabupaten Indramayu, yang berbatasan langsung
dengan wilayah kultural Sunda, pengaruh kebudayaan Sunda sangat kuat. Di
sebagian desa di Kecamatan Terisi hingga Haurgeulis dan Gantar, pengaruh itu
malah memiliki asal-usul penduduk yang memang berasal dari wilayah Sunda.
Komunikasi sosial dan kultural itu terjalin hingga kini menjadi sebuah
akulturasi yang "nDermayu".
Sebenarnya
ada pengaruh kultur lain yang juga amat kuat, yang ada di wilayah barat
(seperti di Kecamatan Bongas, Patrol, Sukra, Anjatan, dan Haurgeulis). Pengaruh
itu berasal dari pesisir utara-barat Jawa Tengah (Tegal-Brebes). Mungkin lebih
tepatnya bukan pengaruh, tetapi lebih sebagai “urbanisasi” awal abad ke-20
melalui jalur kereta api dari Tegal-Brebes ke wilayah barat Indramayu. Penduduk
dari wilayah timur Indramayu juga pada kurun waktu yang sama melakukan
“urbanisasi” ke barat, seperti dari Krangkeng, Juntinyuat, Sliyeg, Kertasemaya,
dan kecamatan lainnya. Saat itu wilayah barat memiliki daya tarik tersendiri, terutama
tanah yang masih perawan dan ketersediaan air yang melimpah dengan adanya
bendungan yang dibangun pemerintah kolonial Belanda dekade 1920-an. Pengaruh
bahasa Jawa dialek Tegal-Brebes dan logat wilayah timur Indramayu masih terasa
hingga kini.
Yang menjadi
catatan tersendiri adalah wilayah Kecamatan Lelea dan Kandanghaur, yang secara
geografis terlalu “jauh” untuk dipengaruhi kultur Sunda. Hingga kini pengaruh
Sunda di beberapa desa di dua kecamatan tersebut cukup kuat. Meski dalam
beberapa kosa kata tidak sama dengan bahasa Sunda di wilayah Pasundan dan
cenderung dianggap kasar, bahasa Sunda tetap digunakan dalam keseharian di
wilayah tersebut. "Sunda-Lea" dan "Sunda-Parean" (maksudnya
bahasa Sunda yang digunakan di Lelea dan Parean/Kandanghaur), menjadi keunikan
tersendiri dalam khazanah bahasa Sunda dan bisa jadi merupakan bahasa Sunda
sempalan yang hidup di lingkungan Jawa pesisir. Fenomena ini, tentu saja, bukan
terjadi dengan sendirinya. Sesuatu yang ada sekarang, hampir pasti memiliki
keterkaitan dengan masa lalu. Masa lalu itu adalah akar sejarah.
Selanjutnya
daerah kekuasaan Sumedang di sebelah utara seperti Kandanghaur, Lelea, dan
Haurgeulis (Indramayu), dan Sindangkasih (Majalengka) satu demi satu dikuasai
kerajaan Islam Cirebon. Dalam menakulukkan daerah Sindangkasih dan Kandanghaur
ini banyak berperan dua orang cucu Sunan Gunung Jati: Pangeran Sentana Panjunan
dan Pangeran Wira Panjunan. Daerah Galuh dan Sumedang sendiri tetap merdeka
sehingga ditundukkan oleh Sultan Agung Mataram yang berhasil menguasai antara
Citanduy dan Cisadane pada tahun 1620 (Rokhmin Dahuri, Bambang Irianto, dan Eva
Nur Arofah, 2004).
Penjelasan
Sumedang pernah menguasai tiga daerah di Indramayu, yakni Kandanghaur, Lelea,
dan Haurgeulis setidak-tidaknya tampak pada kultur yang masih lekat hingga
kini, yakni masih dipakainya bahasa Sunda. Ketika beralih pada kekuasaan
Cirebon, ada peninggalan di Kandanghaur yang bisa jadi berasal dari nama
seorang pangeran asal Cirebon, yakni nama desa, Wirapanjunan. Kurun
waktu kekuasaan Cirebon atas tiga daerah di Indramayu saat Cirebon mencapai
puncak kejayaan, sebagaimana dikemukakan R.A. Kern (1973: 21), yang diperkuat
F. de Haan (1912: 33-41) bahwa Cirebon telah berhasil melebarkan wilayah
kekuasaan dan sekaligus dapat mengislamkan daerah-daerah pedalaman Sunda,
seperti Rajagaluh (1528) dan Talaga (1530) (Rokhmin Dahuri, dkk, 2004: 62).
Jangan
lupa wilayah sentral Indramayu, tempat dikendalikannya pemerintahan, yakni
Kecamatan Indramayu dan Sindang, merupakan lingkungan “keraton” dan “ibukota”
yang dibangun Wiralodra. Wilayah yang secara arkeologis cenderung sebagai kota
pemerintahan bercorak Islam-Jawa. Sungai Cimanuk yang membelah kedua kecamatan
itu juga, sebenarnya dulu menjadi urat nadi perekonomian dan militer, yang
hilirnya adalah pelabuhan. Kompleks pecinan dan
perkampungan arab yang ada di sekitarnya menjadi penanda tersendiri akan
keberadaan masa lalu itu.
Satu hal
yang belum dikemukakan adalah wilayah pesisir Indramayu yang kini terbentang di
12 kecamatan, dengan panjang pantai mencapai 114 km. Dengan keluasan Laut Jawa
yang menjadi gerbangnya, sangat mungkin menjadi pintu masuk akan berbagai
pengaruh sosial, ekonomi, budaya, dan agama dari berbagai daerah dan bangsa.
Agak serius untuk mendiskusikan hal ini lebih jauh. Yang jelas adanya kerajinan
batik di Paoman yang motifnya serupa dengan Lasem (Rembang), kerajinan gerabah
di blok Anjun (Paoman) dan Wirapanjunan (Kandanghaur) juga memiliki nama sama
dengan lokasi kerajinan gerabah di Panjunan (Cirebon).
Hal di atas
bisa dihubungkan dengan kedatangan Syarif
Abdurrakhman beserta ketiga adiknya di
Cirebon pada tahun 1464. Mereka adalah putra-putra Sultan Sulaeman dari
Baghdad, Irak, yang berguru kepada Syeh Nurul Jati dan Mbah Kuwu Cakrabuana.
Mereka kemudian menetap di Panjunan. Nama panjunan itu berasal dari anjun,
barang-barang keramik yang terbuat dari tanah liat.
Beliau
besarta pengikutnya menyebarkan agama Islam, membangun mesjid, dan juga
mengerjakan sebuah karya anjun yaitu membuat barang-barang keramik dari tanah
liat. Dari sinilah tempat itu disebut panjunan. Beliau juga membuat taman
lelangu / taman untuk istirahat dan penenang hati memandang ke alam bebas /
panorama gunung Ciremai. Dari sinilah tempat itu disebut Plangon (kawasan
Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon). Di sini pulalah makam beliau (P.S.
Sulendraningrat, 1975).
Rumah-rumah
penduduk di Junti yang bergaya Majapahit menandaskan keterpengaruhan itu.
Nama-nama desa di pesisir Indramayu juga menyiratkan keterpengaruhan nama dari
luar. Antara Karangampel-Balongan, misalnya, ada lima nama yang juga memiliki
kesamaan dengan nama di Jawa Timur, yaitu seperti Kamal, Tuban, Sampang,
Lombang, dan Majakerta.
Keterkaitan
dengan Majapahit ini bisa jadi karena ekspansi kerajaan besar tersebut ke
seluruh nusantara saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa dengan Mahapatih Gajah Mada
pada abad ke-14. Data yang paling dekat adalah pada abad ke-15 atau antara taun
1491 dan 1492, yaitu adanya perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyai Ageng
Tepasari, putri Ki Ageng Tepasan, mantan penguasa di daerah Majapahit yang
kemudian ikut Raden Patah, Sultan Demak. Dari perkawinan Sunan Gunung Jati
dengan Nyi Ageng Tepasari dikaruniai dua anak, yaitu Nhay Ratu Ayu dan Pangeran
Mohamad Arifin (Pangeran Pasarean) (Dasuki 1977; Sunardjo, 1983).
Melihat
wilayah sosio-kultural yang terpotret sekarang ini, sekali lagi, mustahil
adalah sebuah kejadian yang berdiri sendiri. Ada pengaruh dari benang merah
masa lalu yang bernama sejarah. Masalah yang muncul, apakah benar Indramayu,
yang terbentang dari Sukra-Gantar hingga Kertasemaya-Krangkeng, yang pernah
berhubungan dengan Pajajaran, Demak, Cirebon, Sumedanglarang, Galuh, Banten,
Mataram, bahkan bangsa asing, yang memiliki latar sosio-kultur yang tidak
“tunggal”, hanyalah pengaruh Wiralodra semata?
Selama ini
pengungkapan sejarah di Indramayu lebih banyak berdasarkan terjemahan dan
tafsir naskah-naskah tradisional, yang merupakan sumber sekunder. Sebuah
pengungkapan yang cenderung hanya sampai pada ranah dan perspektif sebagai
sejarah peteng, yang bisa ditafsirkan sebagai kegelapan sejarah karena belum
ada relasi yang tegas dengan sumber-sumber primer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar